Malam itu suhu di Kota Seoul sangat dingin. Jam menunjukkan waktu tengah
malam dan saya harus berjalan cepat menuju stasiun kereta bawah tanah terdekat untuk
mengejar kereta terakhir. Sebuah kalimat "Fear
kills more dream than failure ever will" terpampang di sebuah toko dekat
jalan menuju Hangang Park. Cukup membuat saya menghentikan langkah sejenak
sebelum akhirnya melangkah kembali melawan dinginnya Kota Seoul. Sembari
menyusuri lorong subway yang sepi, saya mulai merenungi kalimat tadi. Kemudian, saya menyadari bahwa saya sedang terdampar di negeri orang yang
jauhnya ribuan kilometer dari rumah, berjalan menyusuri lorong subway di tengah
malam yang sunyi, bersama seorang teman yang juga perempuan. Hanya berdua. Tak
ada ketakutan sama sekali.
Ya, jika saja ketakutan itu ada, saya tidak mungkin
memutuskan untuk
membeli tiket setahun yang lalu meski tidak tahu pasti dengan siapa akan
pergi
sebelum akhirnya salah seorang teman ikut bergabung. Jika
ketakutan itu
terpelihara dengan subur, saya tidak akan pernah mewujudkan mimpi untuk bisa sampai
ke
negeri ini walau hanya berbekal pengetahuan dari dunia maya, buku panduan
wisata, dan keterbatasan bahasa. Nyali saya sungguh besar rupanya dan dengan bodohnya saya baru menyadari hal itu.
Pikiran saya melayang kembali ke tanggal 1 September, malam sebelum keberangkatan saya ke Seoul. Malam itu saya mendapatkan sebuah ucapan ulang tahun melalui pesan Line dari seorang teman lama. Kami bercerita cukup panjang hingga akhirnya berujung pada curhatan tentang perasaan saya terhadap seseorang. Saya, seorang perempuan yang berani membuat langkah besar untuk melakukan perjalanan jauh ribuan kilometer ini memiliki suatu ketakutan yang bisa jadi membunuh mimpi saya yang lain, yaitu ketakutan akan mengungkapkan perasaan. Untuk kesekian kalinya saya menaruh hati pada seseorang dan untuk kesekian kali pula saya hanya memendamnya.
Pikiran saya melayang kembali ke tanggal 1 September, malam sebelum keberangkatan saya ke Seoul. Malam itu saya mendapatkan sebuah ucapan ulang tahun melalui pesan Line dari seorang teman lama. Kami bercerita cukup panjang hingga akhirnya berujung pada curhatan tentang perasaan saya terhadap seseorang. Saya, seorang perempuan yang berani membuat langkah besar untuk melakukan perjalanan jauh ribuan kilometer ini memiliki suatu ketakutan yang bisa jadi membunuh mimpi saya yang lain, yaitu ketakutan akan mengungkapkan perasaan. Untuk kesekian kalinya saya menaruh hati pada seseorang dan untuk kesekian kali pula saya hanya memendamnya.
Teman lama saya, sebut saja A, kemudian menjelaskan teori Schrodinger’s cat dari
sebuah film. Suatu hari, Schrodinger melakukan sebuah percobaan dengan
kucingnya. Ia mengurung kucing dalam sebuah kotak dengan sebotol racun. Selama
kotak belum dibuka, status kucing Schrodinger secara bersamaan bisa hidup dan
mati. Kebenarannya baru bisa terungkap setelah kotak dibuka. Inti dari semua
ini adalah saya harus bersikap terang-terangan.
Sebagai seorang perempuan yang kodratnya menunggu, saya sedikit ragu untuk melakukannya. Benarkah saya yang seorang perempuan ini boleh mengungkapkan perasaan secara gamblang? Bukankah kodrat wanita hanya menunggu? Bukankah hanya pria yang boleh memilih sedangkan wanita hanya menjawab 'ya' atau 'tidak'? Berbagai pertanyaan menghujani pikiran. Sungguh saya tak punya nyali untuk hal seperti itu. Setelah pergulatan pikiran cukup lama, saya kembali menyadari satu hal dan hal tersebut cukup mematahkan harapan. Selain ketakutan yang menguasai pikiran, ada hal lain yang bisa membunuh mimpi saya dalam kasus ini, yaitu perbedaan keyakinan. Rasanya sia-sia jika saya memiliki keberanian untuk mengungkapkan tapi pada akhirnya saya tidak bisa mewujudkannya karena perbedaan keyakinan. Mungkin saya benar-benar harus membunuh mimpi yang satu ini. Bukan karena ketakutan untuk mengungkapkan perasaan tetapi lebih kepada ketakutan terhadap Tuhan.
PS. Lama tidak jumpa seharusnya saya lupa, kenyataan bahwa saya justru rindu cukup mengganggu.
suka postingan nya <3
ReplyDeleteThis is real and This is me